Sabtu, 29 Mei 2010

sosilogi agama

anda dapat mengakses dan mendapatkan referensi tentang judul yang anda butuhkan
just call/sms 085727556123

Senin, 12 April 2010

pembelajaran

butuh referensinya?ubungi kami

Senin, 16 November 2009

sosiologi pendidikan islam

MOBILITAS SOSIAL KAUM SANTRI DAN KAUM INTELEKTUAL

I. Pendahuluan

Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya. Sementara menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack, mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.

Dalam dunia modern, banyak orang berupaya melakukan mobilitas sosial. Mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang peling cocok bagi diri mereka. Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda. Mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkukung dalam status nenek moyang mereka. Mereka hidup dalam kelas sosial tertutup.

Mobilitas sosial lebih mudah terjadi pada masyarakat terbuka karena lebih memungkinkan untuk berpindah strata. Sebaliknya, pada masyarakat yang sifatnya tertutup kemungkinan untuk pindah strata lebih sulit. Contohnya, masyarakat feodal atau pada masyarakat yang menganut sistem kasta. Pada masyarakat yang menganut sistem kasta, bila seseorang lahir dari kasta yang paling rendah untuk selamanya ia tetap berada pada kasta yang rendah. Dia tidak mungkin dapat pindah ke kasta yang lebih tinggi, meskipun ia memiliki kemampuan atau keahlian. Karena yang menjadi kriteria stratifikasi adalah keturunan. Dengan demikian, tidak terjadi gerak sosial dari strata satu ke strata lain yang lebih tinggi.

Santri[1] dalam komunitas pesantren merupakan bagian dari masyarakat sunni[2] yang dapat didefinisikan sebagai mayoritas umat islam yang menerima otoritas sunnah Nabi dan otoritas seluruh seluruh generasi pertama umat islam, serta validnya kesejarahan komunitas dan mayoritas muslim. Dalam menjaga persatuan, santri mengutamakan kepentingan jamaah alam setiap pengambilan keputusan.

Sedangkan intelektual bukanlah sebuah kelompok yang terikat oleh sebuah hukum sejarah, tetapi sebuah strata sosial yang meliputi semua pekerjaan “otak”. Bagaimanapun sulitnya untuk menarik garis demarkasi antara kerja “manual” dan “otak”, ciri-ciri sosial umum dari kaum intelektual cukup jelas, tanpa perlu menuju ke detil-detil. Kaum intelektual adalah sebuah kelas tersendiri – Adler[3] menyebut mereka sebuah kelompok inter-kelas [yang dimaksud disini adalah sebuah kelompok yang tidak terikat pada satu kelas saja], tetapi pada esensinya tidak ada perbedaan – yang eksis di dalam kerangka masyarakat .

Dalam pembahasan kali ini kami akan berusaha melihat bagimana mobilitas kaum santri dan intelektual dalam menjaga eksistensi dalam dunia global.

II. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana strategi pendidikan dalam upaya tercapainya mobilitas sosial santri dan intelektual?
  2. Bagaiana terjadinya mobilitas sosial kaum santri dan intelektual?
  3. Bagaimana bentuk mobilitas kaum santri dan intelektual?

III. Pembahasan

  1. Strategi pendidikan dalam upaya mobilitas sosial santri dan intelektual

Strategi pembaharuan pendidikan merupakan perspektif baru dalam dunia pendidikan yang mulai dirintis sebagai alternatif untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang belum diatasi secara tuntas. Jadi pembaharuanm pendidikan dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan dan menyongsong arah perkembangan dunia pendidikan yang lebih memberikan harapan kemajuan ke depan.

Dalam proses perubahan pendidikan paling tidak memiliki dua peran yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Pendidikan akan berpengaruh terhadap perubahan masyarakat, dan 2) Pendidikan harus memberikan sumbangan optimal terhadap proses trnasformasi menuju terwujudnya masyakat madani. Proses perubahan sistem pendidikan harus dilakukan secara terencana dengan langkah-langkah yang strategis, yaitu “mengidentifikasi berbagai problem yang menghambat terlaksanya pendidikan dan merumuskan langkah-langkah pembaharuan yang lebih bersifat strategis dan praktis sehingga dapat diimplementasikan dilapangan” langkah-langkah tersebut harus dilakukan secara terencana, sistemnatis, dan menyentuh semua aspek, mengantisipasi perubahan yang terjadi, mampu merekayasa terbentuknya sumber daya manusia yang cerdas (dalam hal ini adalah bagaimana pendidikan memberikan kemampuan santri untuk mampu keluar dari romantisme masalalu yang mengukung pemikiran pembaharuan tanpa melanggat etika almuhafadhotul ‘ala qodimi as-sholeh-menjadi santri berkemampuan intelektual tinggi), yang memiliki kemampuan inovatif dan mampu meningkatkan kualitas manusia. Oleh karen itu, pendidikan betul-betul akan berpengaruh terhadap perubahan kehidupan masyarakat dan dapat memberikan sumbangan optimal terhadap proses transformasi ilmu pengetahuan dan pelatihan dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan manuisa.

Bermain logika dengan teka-teki cerdas dan jenaka ini tumbuh dalam keguyuban dunia pesantren. Tradisi itu berkembang karena struktur ritme kehidupan dunia santri ini bersifat self-sustain. Sifat ini bukan saja ditandai oleh kurang bergantungnya komunitas santri dalam ekonomi, budaya, dan intelektual pada aktor-aktor eksternal. Melainkan juga oleh berkembangnya mental qanaah (menerima apa adanya yang diberikan Tuhan) di kalangan mereka. Dalam ritme kehidupan yang berjalan secara teratur, tanpa tergesa-gesa, inilah gagasan-gagasan teka-teki cerdas muncul bukan saja untuk mengasah otak, juga untuk memberi makna terhadap kehidupan itu sendiri.

Secara sosiologis, kehidupan mandiri inilah yang memperkuat kohesivitas internal komunitas santri. Mental qanaah yang dianut membuat setiap anggota komunitas cenderung menggelar sikap ikhlas, karena itu menolak ambisi pribadi. Kombinasi keduanya ini membuat resiliensi (daya tahan) mereka terhadap tekanan eksternal menjadi paripurna. Dengan keikhlasan dan tanpa ambisi personal, mereka mempercayakan kepemimpinan kepada seseorang untuk menghadapi dunia luar.

  1. Proses Mobilitas Sosial Kaum Santri Dan Kaum Intelektual

Mobilitas sosial adalah sebuah menggerakkan masyarakat dalam kegiatan dan mengalamai perubahan yang lebih baik. Mobilitas sosial ada yang terjadi secara vertikal dan ada yang horisontas. Mobilitas secara vertikal terjadi apabila seorang mengalamai kemajuan dan peningkatan dalam taraf sosialnya. Contohnya: seorang buruh pabrik yang giat bekerja, karena ia dipandang ulet dan rajin oleh atasannya lalu diangkat menjadi kepala bagian. Sedangkan mobilitas sosial horisontal adalah apabila perubahan yang terjadi secara linier. Contohnya: seorang petani yang berubah pekerjaanya menjadi buruh pabrik, dalam hemat penulis mobilitas ini lah yang terjadi dalam kaum santri dan intlektual, dimana kaum santri menjadi intelektual dan kaum intelektual masuk menjadi kaum santri. Dalam melakukan mobilitas sosial ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dianataranya: kesenjangan ekonomi, kebodohan, perbedaan kasta, kemalasan. Faktor yang paling menghambat dalam mobilitas sosial adalah kebodohan atau kurangnya pendidikan. Seperti faktor penghambat, faktor yang mempengaruhi mobilitas sosial pun cukup banyak. Diantaranya: keinginan untuk berubah, bosan dengan keadaan yang sudah ada, dan pendidikan.

Disinilah pendidikan memainkan peranannya untuk membentuk intelektual manusia, sehingga kemampuan intelektual ini menjadi lokomotif mobilitas sosial, ekonomis. Sebab, dalam kehidupan nyata, kekuatan intelektual ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari kekuatan sosial. Akibat dari faktor keterpelajaran, keterdidikan atau intelektualitas ini, citra pendidikan dalam masyarakat kita selalu berada pada lingkaran persoalan konseptual berupa: (1) perbenturan modern dan tradisional, (2) masalah Barat dan Timur, (3) ketegangan antara kaya dan miskin, dan (4) ketegangan dan upaya memperoleh ruang publik dan otonomi.
Gambaran teori Marxis nampaknya dapat dijadikan bahan refleksi untuk melakukan perubahan. Meskipun teori ini lahir dari dunia barat. Namun, pola perubahan yang dilakukan cukup baik. Teori Marxisme mengajarkan kita untuk mampu melakukan perubahan agar terbentuknya masyarakat yang tanpa kelas. Dalam artian semuanya sama dalam kelas masyarakat. Tidak ada lagi kelas borjuis dan kelas proletar. Kesenjangan ekonomi yang ada dijadikan sebagai alat untuk malakukan mobilitas sosial. Masyarakat diajak untuk melakukan perubahan agar dapat sejajar dengan golongan kelas lain. Dan kelas yang borjuis dipaksa untuk mau berbagi dengan kelas proletar. Contoh mobilitas sosial yang paling sukses di dunia ini adalah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, dimana Rasul mampu untuk mengubah tatanan masyarakat yang jahiliah menjadi masyarakat yang sangat beradab. Dan jalan yang ditempuh untuk merubah tatanan masyarakat pada waktu itu adalah melalui pendidikan.

Dikotomi sosial antara priayi dan wong cilik sudah lama mengabur.
Program pendidikan umum (pemerintah dan swasta) menjadi sebab
mobilitas sosial. Juga munculnya sektor usaha menyebabkan mobilitas
sosial. Namun, secara resmi dikotomi sosial dihapus pada 1945 ketika,
baik priayi maupun wong cilik, menjadi pegawai negeri. Soekarno yang
berasal dari golongan priayi menjadi presiden. Mobilitas sosial itu
mencapai puncaknya pada 1966 saat Soeharto yang berasal dari wong
cilik menjadi presiden. Karier kemiliteran ternyata menjadi sarana
yang baik untuk mobilitas sosial itu. Pada zaman Belanda ada KNIL,
zaman Jepang Peta, Heiho, dan Hizbullah, RI punya TNI/Polri.
Pembagian kerja masyarakat juga terjadi sehingga dikotomi sosial itu
mengabur dan menghilang. Pekerjaan-pekerjaan baru juga muncul: dosen,
profesional (advokat, notaris, anggota legislatif), dan eksekutif
perusahaan.

Dikotomi budaya abangan dan santri yang mempunyai latar belakang panjang itu juga mengabur secara pelan-pelan. Semula abangan dan santri memang sangat berpengaruh pada dunia politik. Ada Si Merah dan Si Putih, ada PKI, PNI, dan Masyumi/NU. Dalam kepercayaan-kepercayaan nativistik (Agama Jawa, Saminisme, Sarekat Abangan), agama kaum santri ditolak. Namun, dikotomi budaya mulai mengabur berkat adanya mobilitas budaya: haji, buku-buku, dan pergaulan.

Pendidikan agama di sekolah-sekolah mempunyai andil yang sangat
besar. Anak-anak kaum santri malahan sangat tergantung pada sekolah
dan perguruan tinggi agama negeri. Pendidikan agama dari semua
jenjang (madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah) negeri maupun
swasta tersedia, baik bagi abangan maupun santri. Tidak ada lagi
dikotomi budaya abangan dan santri. Dari dikotomi budaya abangan dan
santri inilah lahir dikotomi budaya yang baru, yaitu sekuler dan
religius. Oleh karena itu, Pilpres 2004 yang menggabungkan sekuler
dan religius hanyalah konsekuensi logis dari proses yang lama.
Hasilnya adalah pragmatisme religius. Dengan pergeseran ini telah membawa kaum santri masuk dalam struruktur sosial politik, perhatikan saja pada setiap partai selalu mengusung nama santri sebagai ikon partainya, hal secar pasti menuntut kemampuan santri mempunyai intelektual yang tinggi dalam melaksanakan dan mempertahankan moblitas sosial ini.

Proses mobilitas ini juga dilalui oleh para kaum itelektual sebagai komunitas Akan tetapi, di dalam proses ini juga ada sebuah “perpecahan di dalam proses yang berjalan lambat ini”. Sikap kaum intelektual terhadap sosialisme, yang sudah kita jelaskan sebagai sikap yang terasingkan yang semakin membesar dengan tumbuhnya gerakan sosialis, dapat dan harus berubah secara pasti sebagai akibat dari perubahan politik secara objektif yang akan menggeser perimbangan kekuatan sosial secara radikal. Di antara gagasan-gagasan Adler, sebanyak ini yang benar: bahwa kaum intelektual ingin mempertahankan eksploitasi kapitalis tidak secara langsung dan tidak tanpa syarat, selama kaum intelektual secara materi tergantung pada kelas kapitalis. Kaum intelektual bisa menyeberang ke kolektivisme bila mereka dapat melihat kemungkinan kemenangan kolektivisme yang segera, bila kolektivisme muncul di hadapan mereka bukan sebagai sebuah idealisme dari kelas yang berbeda, jauh, dan asing tetapi sebagai sesuatu yang dekat dan nyata; dan akhirnya, bila – dan ini bukan kondisi yang paling tidak penting – perpecahan politik dengan kelas borjuis tidak mengancam setiap pekerja-otak dengan konsekuensi materi dan moral yang menyeramkan. Kondisi-kondisi seperti itu hanya bisa diciptakan bagi kaum intelektual Eropa melalui kekuasaan politik sebuah kelas sosial yang baru; dan sedikit banyak melalui sebuah periode perjuangan langusng dan segera untuk kekuasaan tersebut. Apapun yang menjadi sebab keterasingan kaum intelektual Eropa dari rakyat pekerja – dan keterasingan ini akan tumbuh semakin besar, terutama di negara-negara kapitalis muda seperti Austria, Itali, dan negara-negara Balkan – di sebuah epos rekonstruksi sosial yang hebat kaum intelektual – mungkin lebih awal dari pada kelas-kelas intermediate lainnya – menyeberang ke sisi pembela masyakarat yang baru. Sebuah peran yang besar akan dimainkan oleh kualitas sosial kaum intelektual dalam koneksinya dengan ini, yang membedakan mereka dari kelas borjuis kecil komersial dan industrial dan kelas tani: hubungan okupasinya dengan cabang kebudayaan kerja sosial, kapasitasnya dalam menggeneralisasi teori, fleksibilitas dan mobilitas cara berpikirnya; pendeknya, intelektualitas mereka. Dihadapi dengan kenyataan pemindahan seluruh aparatus masyarakat ke tangan yang baru, kaum intelektual Eropa akan mampu meyakinkan diri mereka bahwa kondisi baru yang tercipta ini tidak akan mencampakkan mereka ke jurang dalam tetapi justru akan membuka peluang-peluang yang tak terbatas bagi mereka untuk mengaplikasikan kekuatan-kekuatan teknik, organisasi, dan ilmiah; dan mereka akan bisa membawa ke depan kekuatan-kekuatan tersebut dari barisan mereka, bahkan pada periode awal yang sangat kritis ketika rejim yang baru harus menghadapi kesulitan-kesulitan teknik, sosial, dan politik yang besar.

  1. Pendidikan dalam mobilitas sosial santri dan intelektual

Pendidikan dalam kaitannya dengan mobilitas sosial harus mampu untuk mengubah mainstrem pesrta didik akan realitas sosialnya. Pendidikan yang tepat untuk mengubah paradigma ini adalah pendidikan kritis yang pernah digulirkan oleh Paulo Freire. Sebab, pendidikan kritis mengajarkan kita selalu memperhatikan kepada kelas-kelas yan g terdapat di dalam masyakarakat danberupaya memberi kesempatan yang sama bagi kelas-kelas sosial tersebut untuk memperoleh pendidikan. Disini fungsi pendidikan bukan lagi hanya sekedar usaha sadar yang berkelanjutan. Akan tetapi sudah merupakan sebuah alat untuk melakukan peruabahan dalam masyarakat. Pendidikan harus bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang realitas sosial, analisa sosial dan cara melakukan mobilitas sosial.

Orang bisa mendebat balik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Di banyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.

Cengkeraman kapitalisme nampaknya begitu kental dalam dunia pendidikan di Indonesia. Didorong oleh misi untuk meningkatkan akumulasi kapital sebesar-besarnya, lembaga pendidikan akan lebih banyak menerima pelajar-pelajar gedongan meski memiliki IQ pas-pasan. Pelajar yang berprestasi tetapi miskin, tidak dapat sekolah atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Mobilitas sosial vertikal hanya akan menjadi milik orang kaya yang mampu sekolah tinggi, meskipun secara intelektual diragukan.

Berbarengan dengan meningkatnya gejala privatisasi pendidikan dan aspirasi atas pendidikan yang berkualitas memang juga terjadi peningkatan kecenderungan dalam masyarakat untuk mendirikan pendidikan yang mahal tetapi menjanjikan mutu: Buktinya sekolah/madrasah -baik swasta maupun negeri semakin meningkat jumlahnya dalam kurun hampir dua dasawarsa terakhir.

Jelas, hanya terdapat segelintir kalangan masyarakat biasa disebut sebagai “kelas menengah” – yang mampu membeli pendidikan yang mahal tersebut. Tetapi lembaga lembaga pendidikan yang mahal itu sudah telanjur eksis di mana-mana. dan tersebar dimana-mana dan kalangan publik yang inisk. sekalipun beranak anak mereka ke sana. Dan ini jelas dan perlu dihargai dan didukung.

Disinilah terletak dilema klasik. Pendidikan merupakan akses yang sangat penting – jika tidak satu satunya – untuk mencapai mobilitas sosial; tetapi kaum miskin tidak dapat menjangkau akses tersebut, karena mahalnya biaya. Akhirnyal terciptalah vicious circle (lingkaran setan); kerniskinan menciptakan keterbelakangan pendidikan, dan sosial ekonomi, dan keterbelakangan terakhir ini menghasilkan keterbelakangan pendidikan.

Dalam konteks terakhir inilah kebutuhan pada filantrofi (kedermawanan) secara khusus untuk pendidikan terasa semakin dibutuhkan dan mendesak. Jika tidak, sekolah/madrasah yang berkualitas hanya bisa dimasuki anak anak dari keluarga kaya. Padahal, kita juga tahu, terdapat cukup banyak anak dari kalangan miskin yang cerdas, borbakat, rajin, mau bekerja keras dan dengan demikian, cukup menjanjikan.
Memang tradisi filantropi untuk pendidikan bukanlah sesuatu hal baru di Indonesia. Kita tahu sangat banyak lembaga pendidikan, seperti madrasah/sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi yang didirikan dan dikembangkan dengan dana filantropi. Agaknya, hampir bisa dipastikan, lembaga lembaga pendidikan yang dibangun dengan dana filantropi swasta dan masyarakat jauh lebih banyak, dibandingkan dana pemerintah.



[1] Pada dasarnya kata ini mempunyai dua makna, pertama berarti seseorang yang mencari ilmu dalam pesantren, dankedua seseorang yang memeluk agama islam dan rajin dalam mengamalkan ajaran agamanya. Terminologi Geertz dalam the Religion of Java, kaum santri adalah kaum yang dibedakan dengan kaum abangan dan priyayi. Kaum santri dianggap sebagai orang yang menjalankan ajaran Islam dengan baik. Orang-orang yang termasuk dalam terminologi santri ini tidak terbatas hanya pada orang yang menuntut ilmu agama Islam, tetapi juga golongan ulama, termasuk di dalamnya kiai-kiai, atau pemuka-pemuka agama Islam lainnya, yang mereka semua terlibat dalam kelembagaan politik, baik dalam pengertian kelembagaan negara ataupun kelembagaan partai.

[2] Sunni dalam hal ini ditujukkan dengan kecendrungan orang untuk lebih mengunakan al_qur’an dan hadits sebagai sumber utama, daripad penggunaan rasio-akal untuk mematahkan otoritas nash.

[3] Max Adler (1873-1937) adalah seorang kaum intelektual, politisi, dan ahli filosofi dari Austria. Dia adalah perwakilan dari garis pemikiran Austromarxisme.